Beranda

Minggu, 05 Juni 2016

Jejak I Rungkana Galla Cendang 2



                          Matahari terus berjalan mendekati peraduannya. Sinarnya yang kuning keemasan kini mulai bersulam kemerahan. Ombak datang silih berganti seolah menyapa dan menciumi pasir-pasir pantai yang putih nan bersih. Sedang para burung camar yang sedari tadi mengangkasa mencari makan atau hanya untuk sekadar bertengger di karang menikmati sabda-sabda semesta, kini mulai hilang di bawah bayang-bayang senja. Mereka tahu bahwa sebentar lagi sang malam akan tiba, itulah saat terbaik untuk bersua dengan-Nya, bersimpuh dan tenggelam dalam samudera zikir hingga menyatu dengan ketiadaan.
                        Di bibir pantai yang sama, Galla Cendang masih belum beranjak dari duduknya, matanya terus menatap bola raksasa di ujung cakrawala yang perlahan menghilang. Ia membayangkan bola raksasa itu ditelan oleh makhluk yang jauh lebih besar dan buas, sehingga dunia menjadi gelap gulita. Mungkin itulah batara kala, Rahwana, atau sang Dajjal yang dalam cerita digambarkan sebagai tokoh antagonis, sang angkara murka yang dalam setiap napasnya menebar penderitaan dan kematian.  Ia tersentak saat mendengar gema takbir dimana-mana, melintasi ruang hampa dan menjadikan dunia yang tadinya gelap gulita kini penuh dengan gemerlap cahaya yang menghiasi cakrawala. Galla Cendang begitu takzim mendengar suara itu, ia menghayati setiap kata yang mengandung makna kebesaran Sang Maha Penguasa. Hingga tanpa ia sadari hatinya bergetar, air matanya meleleh. Dalam isak tangisnya, ia teringat akan masa lalunya yang kelam. Masa dimana ia menjadi anak manusia angkuh dan sombong di hadapan Tuhan, sehingga ia lalai dan  banyak bermaksiat. Lupa bahwa ia akan mati, dan melupakan tujuan sucinya datang ke tanah daeng ini.
                        Bayangan bapak dan ammanya juga turut hadir, dengan wajah yang mulai nampak garis-garis keriput pertanda usianya tidaklah lagi muda. Akan tetapi buatnya, itu adalah pertanda kekuatan mereka dalam mengarungi samudera kehidupan yang keras ini, bertarung tanpa pernah mengeluh dan berputus asa demi anak-anaknya. Ia seolah melihat Ammanya tersenyum manis, senyum yang meneduhkan jiwa. Dan matanya yang nampak berkaca-kaca dengan tatapan yang mengalirkan kasih sayang. Sambil mengangkat kedua tangannya seolah hendak memeluk anaknya yang teramat dirindukanya. Sedang disisi ammanya, bapaknya berdiri tengar dengan kharisma yang berwibawa. Tak tampak sedikitpun lelah dan keluh dari wajahnya meski keringat masih mengalir membasahi bajunya, pertanda ia baru pulang dari membajak sawah dan mencari makan untuk sapi ternaknya.
                        Saat ia hendak memeluk dan bersimpuh dihadapan amma dan bapanya, bayangan itu menghilang. Air matanya pun semakin mengalir deras, ia pun bergumam dengan nada yang sedikit bergetar,  “O..Amma, O..Bapak…!! Sanna nakkuku mange ri gitte. Sanna ero’na nyawaku anraka’ki, ampala poppora mange ri gitte sa’genna ku bau cappa bangkenta. Nasaba, nakke ana’ta tanre kulle ku pa’gang pappasanta mange ri nakke..!!” (Wahai Ibu, wahai ayahku..!! aku sangat merindukan kalian. Sangat ingin aku memohon maaf kepadamu sampai kucium ujung kakimu, karena saya anakmu tidak sanggup memegang amanah darimu). Kerinduan pada orang tuanya juga membawanya pada kerinduan kepada Sang, Tuhan Yang tidak pernah menurunkan azabnya walaupun selama ini ia sering kali bermaksiat kepada-Nya. Ia juga kini rindu pada sosok sang Avatar Agung, putra Abdullah Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan bagi  umat manusia.
            Kerinduan-kerinduan inilah yang kini menuntunya berjalan dalam kegelapan, mencari secercah cahaya pengharapan. Gemuruh ombak yang tadi seperti gemuruh jiwanya yang gelisah mulai tak terdengar lagi. Ia tak tahu hendak kearah mana ia melangkahkan kakinya, yang ada dalam pikirannya saat ini adalah berjalan mencari Mesjid. Agar ia bisa sembahyang dan berteduh, sebab hujan kini mulai mengguyur. Ia tidak tahu, kenapa hujan tiba-tiba turun padahal tadi ia melihat langit cerah dengan bintang-bintang  walaupun memang dibagian langit lain terlihat awan mendung. 
                 Tanpa terasa, kini Galla Cendang berdiri dihadapan gerbang mesjid, yang di depan mesjid nampak papan persegi berwarna hijau berukuran satu meter. Papan itu bertuliskan, mesjid at-Taubatan Nasuha jalan Daeng Salama’, Kelurahan Ihsan Kecamatan Al-Iman. Langkahnya kini terhenti, ia melihat seseorang dari kejauhan di bawah temaram sinar lampu mesjid yang agak redup nan sejuk. Seorang gadis berjilbab putih mengangkat sedikit kain roknya dan berjalan hati-hati dengan payung di bawah hujan. Gadis itu baru keluar dari mesjid.