Matahari terus berjalan mendekati peraduannya. Sinarnya
yang kuning keemasan kini mulai bersulam kemerahan. Ombak datang silih berganti
seolah menyapa dan menciumi pasir-pasir pantai yang putih nan bersih. Sedang
para burung camar yang sedari tadi mengangkasa mencari makan atau hanya untuk
sekadar bertengger di karang menikmati sabda-sabda semesta, kini mulai hilang
di bawah bayang-bayang senja. Mereka tahu bahwa sebentar lagi sang malam akan
tiba, itulah saat terbaik untuk bersua dengan-Nya, bersimpuh dan tenggelam
dalam samudera zikir hingga menyatu dengan ketiadaan.
Di bibir pantai yang sama, Galla
Cendang masih belum beranjak dari duduknya, matanya terus menatap bola raksasa
di ujung cakrawala yang perlahan menghilang. Ia membayangkan bola raksasa itu
ditelan oleh makhluk yang jauh lebih besar dan buas, sehingga dunia menjadi gelap
gulita. Mungkin itulah batara kala, Rahwana, atau sang Dajjal yang dalam cerita
digambarkan sebagai tokoh antagonis, sang angkara murka yang dalam setiap
napasnya menebar penderitaan dan kematian. Ia tersentak saat mendengar gema takbir
dimana-mana, melintasi ruang hampa dan menjadikan dunia yang tadinya gelap
gulita kini penuh dengan gemerlap cahaya yang menghiasi cakrawala. Galla
Cendang begitu takzim mendengar suara itu, ia menghayati setiap kata yang
mengandung makna kebesaran Sang Maha Penguasa. Hingga tanpa ia sadari hatinya
bergetar, air matanya meleleh. Dalam isak tangisnya, ia teringat akan masa
lalunya yang kelam. Masa dimana ia menjadi anak manusia angkuh dan sombong di
hadapan Tuhan, sehingga ia lalai dan
banyak bermaksiat. Lupa bahwa ia akan mati, dan melupakan tujuan sucinya
datang ke tanah daeng ini.
Bayangan bapak dan ammanya juga
turut hadir, dengan wajah yang mulai nampak garis-garis keriput pertanda
usianya tidaklah lagi muda. Akan tetapi buatnya, itu adalah pertanda kekuatan
mereka dalam mengarungi samudera kehidupan yang keras ini, bertarung tanpa
pernah mengeluh dan berputus asa demi anak-anaknya. Ia seolah melihat Ammanya
tersenyum manis, senyum yang meneduhkan jiwa. Dan matanya yang nampak berkaca-kaca
dengan tatapan yang mengalirkan kasih sayang. Sambil mengangkat kedua tangannya
seolah hendak memeluk anaknya yang teramat dirindukanya. Sedang disisi ammanya,
bapaknya berdiri tengar dengan kharisma yang berwibawa. Tak tampak sedikitpun
lelah dan keluh dari wajahnya meski keringat masih mengalir membasahi bajunya,
pertanda ia baru pulang dari membajak sawah dan mencari makan untuk sapi
ternaknya.
Saat ia hendak memeluk dan bersimpuh
dihadapan amma dan bapanya, bayangan itu menghilang. Air matanya pun semakin
mengalir deras, ia pun bergumam dengan nada yang sedikit bergetar, “O..Amma, O..Bapak…!! Sanna nakkuku mange ri
gitte. Sanna ero’na nyawaku anraka’ki, ampala poppora mange ri gitte sa’genna
ku bau cappa bangkenta. Nasaba, nakke ana’ta tanre kulle ku pa’gang pappasanta
mange ri nakke..!!” (Wahai Ibu, wahai ayahku..!! aku sangat merindukan kalian.
Sangat ingin aku memohon maaf kepadamu sampai kucium ujung kakimu, karena saya
anakmu tidak sanggup memegang amanah darimu). Kerinduan pada orang tuanya juga
membawanya pada kerinduan kepada Sang, Tuhan Yang tidak pernah menurunkan
azabnya walaupun selama ini ia sering kali bermaksiat kepada-Nya. Ia juga kini
rindu pada sosok sang Avatar Agung, putra Abdullah Muhammad SAW yang telah
menjadi suri tauladan bagi umat manusia.
Kerinduan-kerinduan
inilah yang kini menuntunya berjalan dalam kegelapan, mencari secercah cahaya
pengharapan. Gemuruh ombak yang tadi seperti gemuruh jiwanya yang gelisah mulai
tak terdengar lagi. Ia tak tahu hendak kearah mana ia melangkahkan kakinya,
yang ada dalam pikirannya saat ini adalah berjalan mencari Mesjid. Agar ia bisa
sembahyang dan berteduh, sebab hujan kini mulai mengguyur. Ia tidak tahu,
kenapa hujan tiba-tiba turun padahal tadi ia melihat langit cerah dengan bintang-bintang walaupun memang dibagian langit lain terlihat
awan mendung.
Tanpa
terasa, kini Galla Cendang berdiri dihadapan gerbang mesjid, yang di depan
mesjid nampak papan persegi berwarna hijau berukuran satu meter. Papan itu
bertuliskan, mesjid at-Taubatan Nasuha jalan Daeng Salama’, Kelurahan Ihsan
Kecamatan Al-Iman. Langkahnya kini terhenti, ia melihat seseorang dari kejauhan
di bawah temaram sinar lampu mesjid yang agak redup nan sejuk. Seorang gadis
berjilbab putih mengangkat sedikit kain roknya dan berjalan hati-hati dengan
payung di bawah hujan. Gadis itu baru keluar dari mesjid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar