Pada masa Kerajaan Bantaeng rakyat
dipimpin oleh seorang Raja dengan gelar Karaeng, yang mana pada saat itu
memiliki kekuasaan yang sangat besar di daerah ini, ada beberapa karaeng yang
pernah memerintah di daerah ini.
Bantayan pada awalnya sebagai Kerajaan yakni tahun 1254 - 1293 yang mana diperintah oleh Mula Tau yang bergelar To Toa yang memimpin Kerajaan Bantaeng yang terdiri dari 7 Kawasan yang masing diantaranya dipimpin oleh seorang raja yang disebut kare’, yaitu
Bantayan pada awalnya sebagai Kerajaan yakni tahun 1254 - 1293 yang mana diperintah oleh Mula Tau yang bergelar To Toa yang memimpin Kerajaan Bantaeng yang terdiri dari 7 Kawasan yang masing diantaranya dipimpin oleh seorang raja yang disebut kare’, yaitu
1. Kare Onto
2. Kare Bissampole
3. Kare Sinoa
4. Kare Gantarang Keke
5. Kare Mamampang
6. Kare Katapang
7. Kare Lawi-Lawi
Ketujuh kare’ tersebut dikenal dengan nama “Tau Tujua”. Komunitas Onto memiliki sejarah tersendiri yang menjadi
cikal bakal Bantaeng. Konon kabarnya dulunya daerah Bantaeng ini masih berupa
lautan. Hanya beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu daerah
Onto dan beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole, Gantarang keke,
Mamampang, Katapang dan Lawi-Lawi. Masing-masing daerah ini memiliki pemimpin
sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’. Suatu ketika para Kare yang semuanya
ada tujuh orang tersebut, bermufakat untuk mengangkat satu orang yang akan
memimpin mereka semua.
Sebelum itu mereka sepakat untuk
melakukan pertapaan lebih dulu, untuk meminta petunjuk kepada Batara (Yang Maha
Kuasa) siapa kira-kira yang tepat menjadi pemimpin mereka. Lokasi pertapaan
yang dipilih adalah daerah Onto. Ketujuh Kare itu kemudian bersemedi di tempat
itu. Tempat-tempat semedi itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh
rumah kecil yang beratap, berdinding dan bertiang bambu). Pada saat mereka
bersemedi, turunlah cahaya ke Kare Bisampole (Pimpinan daerah Bisampole) dan
terdengar suara :”Apangaseng antu Nuboya
Nakadinging-dinginganna inne” (Apa yang engkau cari dalam cuaca dingin
seperti ini). Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk
mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak lagi terpisah-pisah
seperti sekarang ini. Lalu kembali terdengar suara: “Ammuko mangemako rimamampang
ribuangayya Risalu Cinranayya” (Besok datanglah kesatu tempat
permandian yang terbuat dari bambu).
Keesokan harinya mereka mencari
tempat yang dimaksud di daerah Onto. Di tempat itu mereka menemukan seorang
laki-laki sedang mandi. “Inilah kemudian yang disebut dengan To Manurunga ri
Onto. Lalu ketujuh Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari pemimpin,
sekaligus meminta Tomanurung untuk memimpin mereka. Tomanurung menyatakan
kesediaannya, tapi dengan syarat. “Eroja nuangka anjari Karaeng, mingka
nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu”
(saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan
kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang
hanyut),” kata Tomanurung.
Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare
Bisampole pun menyahut; “Kutarimai Pakpalanu mingka kualleko pammajiki
tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung.” (Saya terima
permintaanmu tapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan
bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan
bukannya racun). Maka jadilah Tomanurung ri Onto ini sebagai raja bagi mereka
semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru maka daerah yang tadinya laut
berubah menjadi daratan. Tomanurung ini sendiri lalu mengawini gadis Onto yang
dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitanya Onto).
Setelah itu mereka pun berangkat ke
arah yang sekarang disebut gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah
pohon lalu bertanyalah Tomanurung pohon apa ini, dijawab oleh Kare Bisampole:
Pohon Taeng sambil memandang kearah enam kare yang lain.
Serentak ke-enam kare yang lain menyatakan Ba’ (tanda
membenarkan dalam bahasa setempat). Dari sinilah kemudian muncul kata Bantaeng
dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan Taeng .
Konon karena daerah Onto ini menjadi daerah sakral dan perlindungan bagi
keturunan raja Bantaeng bila mendapat masalah yang besar, maka bagi anak
keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah ini, kecuali
diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas dan dicera’ jangang (
kehadirannya diawali dengan penyembelihan seekor ayam terlebih dahulu). Namun
kini hal itu hanya cerita. Kini Kesakralan daerah itu hanya tinggal kenangan.
Kekuasaan politik dari Karaeng
Bantaeng pertama sampai kesepuluh bisa dipilih langsung dari
karaeng Bantaeng, menurut keturunannya, dari ayah ke anak, atau siapa saja yang
dikehendaki Karaeng Bantaeng waktu itu, tapi setelah itu kepemimpinan karaeng
Bantaeng ke – 10, sistem pengangkatan Karaeng Bantaeng berubah karena mereka
sudah menganut sistem adat sampulo anrua atau adat 12, dimana penguasa atau
Karaeng Bantaeng dipilih langsung oleh Adat 12.
Jadi pemerintahan di Bantaeng sudah
lama mengenal sistem demokrasi dimana kekuasaan tertinggi berada ditangan
rakyat, tepatnya sejak tahun 1532, sejak pemerintahan Karaeng Bantaeng ke – 11. Adat 12 memegang prinsip dalam
memilih Karaeng Bantaeng yaitu : “ bahwa penguasa harus memiliki keyakinan
pada Tuhan, sifat Siri ' atau malu dan takut dosa, mengasihi rakyatnya,
merangkul dan mengayomi rakyatnya, dan menegakkan keadilan bagi semua orang “.
Berbicara
tentang hari jadi Bantaeng, pemerintah dan masyarakat Bantaeng hari ini selalu
memperingatinya pada tanggal 7 Desember. Berdasarkan dari berbagai sumber, Tanggal
7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di Onto dan Tau Tujua yang memerintah
dimasa lalu, yaitu: Kare Onto, Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang,
Katapang dan Lawi-Lawi.
Selain
itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi perang
Makassar, dimana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di Bantaeng sebelum
menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai bandar pelabuhan dan
lumbung Kerajaan Gowa. Serangan Belanda tersebut gagal, karena ternyata dengan
semangat patriotiseme rakyat Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu
itu mengadakan perlawanan besar-besaran.
Bulan 12
(dua belas), menunjukkan sistem adat 12 atau semacam DPRD sekarang yang terdiri
dari perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang (Kepala Kampung) sebagai anggotanya
yang secara demokratis menetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng
Bantaeng. Hal inilah yang menjadi alasan hari jadi Bantaeng diperingati pada
tanggal 7 bulan Desember.
Akan
tetapi, Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan
wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja
Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin
hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Penentuan autentik Peta Singosari ini jelas
membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu.
Buku dari peradaban di Pulau Jawa, Negarakretagama yang di
tulis Empu Prapanca pada masa Gadjah Mada (1364), di temukan bahasa yang menyebut Bantaeng
(Bantayang) sebagai bagian dari kerajaan Majapahit. Beberapa
petikan kalimat yang menyebut tentang negeri-negeri di Sulawesi Selatan yang
menjadi daerah bagian Kerajaan
Majapahit sebagai berikut :
“Muah tanah i
Bantayan pramuka Bantayan len Luwuk Tentang Udamakatrayadhi nikanang
sanusaspupul Ikangsakasanusa Makassar Butun Banggawi Kuni Craliyao Nwangi
Selaya Sumba Soto Muar, dsb..”
Maksudnya : Seluruh
Sulawesi Selatan menjadi daerah keempat kerajaan Majapahit yaitu : Bantayan
(Bantaeng), Luwuk (Luwu), Udamakatraya (Talaud), Makassar (Makassar) Butun (Buton),
Banggawi (Banggai), Kunir (Pulau Kunyit), Selaya (Selayar), Solot (Solor), dan
seterusnya.
Bahkan
menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun 500 masehi,
sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tuo (Tanah bersejarah). Selanjutnya
laporan peneliti Amerika Serikat Wayne A. Bougas menyatakan Bantayan adalah
Kerajaan Makassar awal tahun 1200-1600, dibuktikan dengan ditemukannya
penelitian arkeolog dan para penggali keramik pada bagian penting wilayah
Bantaeng yakni berasal dari dinasti Sung (960-1279) dan dari dinasti Yuan
(1279-1368).
Dengan
demikian, maka sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh para pakar sejarah,
sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4 Juli 1999. berdasarkan
Keputusan Mubes KKB nomor 12/Mubes KKB/VII/1999 tanggal 4 Juli 1999 tentang
penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun kesepatan anggota DPRD Tingkat II Bantaeng,
telah memutuskan bahwa sangat tepat Hari Jadi Bantaeng ditetapkan pada tanggal
7 bulan 12 tahun 1254, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor: 28 tahun 1999.
B. Daftar nama-nama raja yang pernah
memerintah
Berikut ini adalah daftar nama-nama
raja yang pernah memerintah di wilayah Kabupaten Bantaeng, yaitu:
1.
Bantayan
pada awalnya sebagai Kerajaan yakni tahun 1254 - 1293 yang mana diperintah oleh
Mula Tau yang bergelar To Toa yang memimpin Kerajaan Bantaeng yang terdiri dari
7 Kawasan yang masing diantaranya dipimpin oleh Kare, yaitu Kare Onto, Kare
Bissampole, Kare Sinoa, Kare Gantarang Keke, Kare Mamampang, Kare Katapang dan
Kare Lawi-Lawi, yang semua Kare tersebut dikenal dengan nama “Tau Tujua”.
2.
Sesudah
Mula Tau, maka Raja kedua yang memerintah yaitu Raja Massaniaga pada tahun
1293.
3.
Pada
tahun 1293 - 1332 dipimpin oleh To Manurung atau yang bergelar Karaeng Loeya.
4.
Tahun
1332 - 1362 dipimpin oleh Massaniaga Maratung.
5.
Tahun
1368 - 1397 dipimpin oleh Maradiya.
6.
Tahun
1397 - 1425 dipimpin oleh Massanigaya.
7.
Tahun
1425 - 1453 dipimpin oleh I Janggong yang bergelar Karaeng Loeya.
8.
Tahun
1453 - 1482 dipimpin oleh Massaniga Karaeng Bangsa Niaga.
9.
Tahun
1482 - 1509 dipimpin oleh Daengta Karaeng Putu Dala atau disebut Punta
Dolangang.
10. Tutinrowa Rijalanjang (anak dari
Karaeng-9. Ia menjadi Karaeng-10)
11. Tahun 1532 - 1560 dipimpin oleh
Daengta Karaeng Dewata.
12. Tahun 1560 - 1576 dipimpin oleh I
Buce Karaeng Bondeng Tuni Tambanga.
13. Tahun 1576 - 1590 dipimpin oleh I
Marawang Karaeng Barrang Tumaparisika Bokona.
14. Tahun 1590 - 1620 dipimpin oleh
Massakirang Daeng Mamangung Karaeng Majjombea Matinroa ri Jalanjang Latenri
Rua.
15. Tahun 1620 - 1652 dipimpin oleh Daengta
Karaeng Bonang yang bergelar Karaeng Loeya.
16. Tahun 1652 - 1670 dipimpin oleh
Daengta Karaeng Baso To Ilanga ri Tamallangnge.
17. Tahun 1670 - 1672 dipimpin oleh
Mangkawani Daeng Talele.
18. Tahun 1672 - 1687 dipimpin oleh
Daeng Ta Karaeng Baso (kedua kalinya).
19. Tahun 1687 - 1724 dipimpin oleh
Daeng Ta Karaeng Ngalle.
20. Tahun 1724 - 1756 dipimpin oleh
Daeng Ta Karaeng Manangkasi.
21. Tahun 1756 - 1787 dipimpin oleh
Daeng Ta Karaeng Loka.
22. Tahun 1787 - 1825 dipimpin oleh
Ibagala Daeng Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang.
23. Tahun 1825 - 1826 dipimpin oleh La
Tjalleng To Mangnguliling Karaeng Tallu Dongkonga ri Bantaeng
24. yang bergelar Karaeng Loeya ri
Lembang.
25. Tahun 1826 - 1830 dipimpin oleh
Daeng To Nace (Janda Permaisuri, Kr. Bagala Dg. Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang).
26. Tahun 1830 - 1850 dipimpin oleh
Mappaumba Daeng To Magassing.
27. Tahun 1850 - 1860 dipimpin oleh
Daeng To Pasaurang.
28. Tahun 1860 - 1866 dipimpin oleh
Karaeng Basunu.
29. Tahun 1866 - 1877 dipimpin oleh
Karaeng Butung.
30. Tahun 1877 - 1913 dipimpin oleh
Karaeng Panawang.
31. Tahun 1913 - 1933 dipimpin oleh
Karaeng Pawiloi.
32. Tahun 1933 - 1939 dipimpin oleh
Karaeng Mangkala
33. Tahun 1939 - 1945 dipimpin oleh
Karaeng Andi Mannapiang
34. Tahun 1945 - 1950 dipimpin oleh
Karaeng Pawiloi (kedua kalinya).
35. Tahun 1950 - 1952 dipimpin oleh
Karaeng Andi Mannapiang (kedua kalinya).
36. Tahun 1952 - Karaeng Massoelle
(sebagai pelaksana tugas).
Pemerintah Masa Kerajaan ini
berlangsung sejak abad XII dan berakhir pada masa sesudah kemerdekaan, dan
dalam penyelenggaraan pemerintahan Kerajaan itu berlangsung pula birokrasi
pemerintahan Hindia Belanda secara bersama-sama.
Sejak
terbentuknya Kabupaten daerah Tingkat II Bantaeng berdasarkasn UU Nomor 29
Tahun 1959, Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang pertama dilantik pada tanggal
1 Pebruari 1960. Adapun pejabat pemerintahan sejak terbentuknya Kabupaten
Bantaeng hingga saat ini adalah sebagai berikut:
1.
A.
Rifai Bulu (1960-1965)
2.
Aru
Saleh (1965-1966)
3.
Solthan
(1966-1971)
4.
H.
Solthan (1971-1978)
5.
Drs.
H. Darwis Wahab (1978-1988)
6.
Drs.
H. Malingkai Maknun (1988-1993)
7.
Drs.
H. Said Saggaf (1993-1998)
8.
Drs.
H. Azikin Solthan, M.Si (1998-2008)
9. Dr. Ir. Nurdin Abdullah, M.Agr
(2008-sekarang
C. Sejarah Budaya Bantaeng
Dalam setiap ritus tradisional,
selalu ada dua kutub waktu yang selalu berhubungan; masa lampau dan masa
sekarang. Masa lampau selalu dirujuk sebagai origins (asal mula) yang mesti
dijaga otentisitasnya oleh masa sekarang. Rujukan ini salah satunya
termanifestasi dalam ritus tahunan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang
meyakininya saat ini. Meyakini berarti mengakui adanya nilai (serta
transmisinya) yang tertanam dan berurat akar dalam sebuah ritus. Bahkan, ritus
pada gilirannya akan mempresentasikan bagaimana suatu masyarakat berpikir dan
bertindak tentang dan untuk dirinya secara antropologis.
Untuk masyarakat Indonesia umumnya,
dan masyarakat Sulawesi Selatan khususnya, faktor Islam memainkan peran sangat
penting dalam ritus tradisional. Islam dapat menjadi kekuatan bermata dua dalam
satu waktu, meski dimainkan oleh aktor berbeda. Ada aktor yang membawa Islam
yang tidak bisa beriringan dengan budaya lokal, dan sebaliknya aktor lain
berhasil melakukan infiltrasi (dengan berbagai coraknya), dengan memasukkan
unsur-unsur Islam dalam tradisi lokal. Meski friksi antara kedua aktor tersebut
menyurut, dua kekuatan Islam ini selalu hadir dalam setiap isu-isu tradisi atau
budaya lokal. Islam di Sulawesi Selatan pun demikian.
Bagaimana Islam dan nilai-nilai
ke-Bugis-an dan ke-Makassar-an di Sulawesi Selatan bersinggungan, salah satunya
dapat dilihat dalam semua ritus tahunan di daerah ini. Terlepas dari dominasi
salah satunya (Islam dan Bugis/Makassar), interseksi itu misalnya dapat dilihat
dalam upacara Maudu Lompoa (Maulid Besar) di Cikoang (Takalar), Maudu Lompoa
(Maulid Besar) di (Maros), Accera Kalompoang (pencucian benda pusaka Kerajaan
Gowa) di Sungguminasa (Gowa), Maggiri di Pangkep, Appalili di Bontonompo (Gowa),
Marumatang di Duampanuae (Sinjai), Akkaraeng di Kelara (Jeneponto), dan masih
banyak lagi tentunya. Tulisan ini ingin menggambarkan interseksi nilai-nilai
Islam dan Makassar yang bertemu dalam upacara tahunan Pa'jukukang di Bantaeng
(Sulawesi Selatan).
Bantaeng yang terletak 120 km arah
Selatan kota Makassar, sebenarnya memiliki sejarah besar dan tua yang sayangnya
tidak terekam dalam catatan-catatan sejarah resmi di Sulawesi Selatan. Bougas
(1998) dan Ahimsa-Putra (1993) merupakan salah satu peneliti yang pertama-tama
menulis sejarah bantaeng secara serius. Hal yang paling sering diangkat tentang
kota kecil berjuluk Butta Toa (Tanah Tua) ini misalnya bahwa Bantaeng adalah
satu dari tiga (Luwu dan Uda) kawasan dan kerajaan penting di Indonesia Timur yang
dikenal oleh Kerajaan Singosari, sebagaimana yang terekam dalam Negarakertagama
(1365 M.). Penanggalan ini menunjukkan bahwa Bantaeng telah sangat eksis dan
diakui sebagai salah satu kekuatan politik sejak abad XIII, masa di mana
kerajaan lain di Sulawesi Selatan belum eksis sama sekali. Reid (1999: 121)
juga menjelaskan salah satu aspek sejarah yang menunjukkan superioritas
Bantaeng atas Gowa, sebuah kerajaan terbesar di Indonesia Timur. Selain itu, di
masa kolonial, Bantaeng merupakan sebuah afdeling, ibukota wilayah yang
mencakup Selayar, Bulukumba, Bantaeng dan Jeneponto.
Kembali ke sejarah Bantaeng,
Ahimsa-Putra (1993) pernah mengemukakan dua versi sejarah kerajaan Bantaeng.
Versi pertama ia temukan dari koleksi Goedhart (1920) dan pernah dipublikasikan
dalam Adatrechtbundels (1933). Sementara itu, versi kedua ia dapatkan pada 1990
dari Massoewalle, seorang sulewatang (wakil raja Bantaeng) yang terakhir. Meski
tidak berbeda secara signifikan, kedua sumber ini sepakat tentang Tomanurung
sebagai faktor penting dalam menjelaskan sejarah kerajaan Bantaeng. Jika
sejarawan Sulawesi Selatan hampir sepakat bahwa Tomanurung hanya turun di Luwu,
maka orang Bantaeng juga meyakini bahwa ada Tomanurung yang turun di Bantaeng.
Mitos Tomanurung (orang yang turun dari langit) memang sangat berpengaruh dalam
menentukan state of origins sebuah komunitas di Sulawesi Selatan. Mitos ini
juga ingin menunjukkan pengaruh drama kosmik dalam menentukan asal-usul, sebuah
mitos yang sangat umum dalam masyarakat Austronesia.
Singkat cerita, suatu ketika,
Sawerigading (salah satu tokoh utama dalam epos La Galigo), Tomanurung yang
mendarat di Luwu mengunjungi Bantaeng dengan berlabuh di Nipa-Nipa di pantai
Pa'jukukang, saat ini berada di jalan poros Bantaeng-Bulukumba.[i] Di hari keempat,
Sawerigading kemudian naik menuju Gantarang Keke, sebuah perbukitan di
Kecamatan Gantarang Keke saat ini.
Di sini, Sawerigading menikahi Dala,
putri Bantaeng. Versi lain mengatakan bahwa yang menikahi Dala adalah seorang
pangeran dari Cina (Salam 1997: 24). Pernikahan ini dikaruniai kelahiran anak
bernama Karaeng Loe. Kelahiran Karaeng Loe yang menjadi cikal bakal raja-raja
Bantaeng, diperingati setiap pada 10 Sya'ban di tiap tahunnya dan disebut
upacara Pa'jukukang. Versi lain menjelaskan bahwa acara ini diinisiasi oleh
Karaeng Gantarang Keke yang memerintah pada abad XIV setelah Bantaeng mengalami
masa paceklik. Setelah berdoa di Balla' Lompoa (istana) bersama abdi kerajaan,
tanah menjadi subur dan laut/sungai dipenuhi ikan. Untuk mensyukuri ini, maka
diadakanlah upacara yang kemudian disebut upacara Pa'jukukang (Rizal et al
2004: 74-5).
artikelnya ini penting bagi pecinta budaya, sejarah dan akademisi. postinglah terus dan usahakan jangan terlalu panjang tulisannya. batasi dengan edisi dan judul (yang lebih sederhana) biar kami bisa tuntas membacanya.
BalasHapus