...................
Ahad, 01 Mei 2016. Setelah belajar epistemologi secara umum dan mendasar dengan menjawab beberapa pertanyaan mendasar tentang pengetahuan, pekan ini kita mengkaji epistemologi secara khusus dimulai dari perspektif sejarah dan tokoh. Kk Muhajir yang kembali mengisi kelas yang dihadiri oleh beberapa orang ini. Tapi walaupun hanya beberapa orang, keinginan untuk belajar begitu kental terasa.
Setelah menjelaskan beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengkaji epistemologi secara sistematis, pelajaran pekan ini dimulai dengan membincang tentang Plato dan Aristoteles dari sudut pandang pemikiran keduanya tentang epistemologi. Perdebatan tentang kedua tokoh yang memiliki hubungan sebagai guru dan murid ini tak kunjung ada habisnya, mulai dari masa yunani klasik renaisance hingga era modern kedua tokoh ini masih mewarna diskursus kajian seputar filsafat dan logika.
Dan pekan ini, kita mengkaji pemikiran kedua tokoh besar ini tentang epistemologi. Sang guru Plato sebagai pelatak dasar paham Idealisme dan sang murid sebagai peletak dasar paham Realisme. "Paham Idealisme dan Realisme ini yang dikemudian hari menjadi implikasi dari lahirnya paham Rasionalisme dan Empirisme", tutur kak Hajir.
Lanjutnya, Plato berpendapat bahwa pengetahuan manusia adalah sesuatu yang fitrah atau bawaan dan hal ini cukup menjadi antitesis teori yang mengatakan bahwa manusia lahir seperti kertas kosong. Sebab plato beranggapan bahwa pengetahuan itu bersumber dari dunia idea yang menajadi cerminan dari alam realitas. Singkatnya dunia realitas ini ada karena adanya alam idea. Makanya seringkali kita mangalami sesuatu dan kita kerasakan bahwa sesuatu itu pernah kita alami sebelumnya tapi entah kapan dan dimana. Inilah yang dalam psikologi kita sebut sebagai peristiwa de javu.
Yang menjadi pertanyaan kemudian jika pada dunia idea kita sudah memiliki pengetahuan tentang alam realitas, kenapa setelah lahir kita tidak tahu apa-apa? Menurut plato jawabannya karena jiwa yang suci yang hidup di alam idea ini menyatu dengan raga yang menurut plato sebagai sesuatu yang kotor. Sehingga pengetahuan yang dibawa jiwa dari alam idea menjadi tertutupi.
Dan Plato kemudian melanjutkan bahwa untuk membangkitkan pengetahuan itu dibutuhkan dua hal, (1) Penyucian jiwa, (2) Mengingat kembali. Penyucian jiwa dilakukan untuk membersihkan jwa kita dari ketrikatan bendawi sehingga jiwa menjadi bersih. Mengingat kembali dilakukan dengan cara menjalani realitas sehingga pengetahuan yang sebelumnya dimiliki di alam idea bisa di ingat kembali, sebab alam realita adalah cerminan alam idea kata plato. Dari peristiwa mengingat kembali ini, Plato mengklasifikasikan pengetahuan menjadi pengetahuan doxa dan Episteme. Doxa artinya bersifat opini karena kesimpulan yang diambil berdasarkan pengamatan inderawi, sedangkan Episteme bersifat mutlak karena sesuai dengan pengatahuan kita di alam idea.
Berbeda dengan sang guru, Aristoteles meski sepakat dengan adanya alam idea dan alam realitas, tapi ia mengatakan bahwa alam idea tidak terpisah atau tidak berada di luar alam realitas, tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh. Aris mengatakan bahwa alam idea ada karena adanya pengalaman manusia terhadap alam realitas. Pemikiran inilah yang menjadi cikal bakal dari paham Empirisme yang merupakan turunan dari paham Realisme Aristoteles.
Inilah yang menjadi catatanku disecarik kertas dari persemedian di Padepokan pengetahuan Paradigma Institute hari ini terkait tentang epistemologi. Dan setelah bersua dengan kak Hajir, kami isi dengan perbincangan sarat makna dengan Guru Han terkait tentang keprihatinan beliau dengan rendahnya minat baca bangsa Indonesia. Beliau mengatakan bahwa menurut penelitian dari UNESCO, tingat literasi Indonesia berada pada urutan ke 60 dari 61 negara yang di teliti oleh UNESCO. Sebuah peringkat yang amat rendah dan ini menjadi indikator betapa rendahnya "minat baca" orang/pemuda bangsa kita. Beliau mengatakan UNESCO memberikan standar bahwa untuk bisa dikatakan memiliki budaya literasi yang tinggi, setiap orang harus membaca sebanyak 4-6 jam dalam sehari.
"Sudahkah anda membaca selama itu dalam sehari?" sebuah pertanyaan yang dilemparkan guru Han ada kami, pertanyaan yang menampar kesadaranku.
Sebelum beranjak beliau menekankan agar membaca dilakukan bukan ketika ada waktu luang tapi kita membuat waktu luang untuk membaca.
"Iqra"..
01 Mei 2016
#Secarik_Kertas