Beranda

Senin, 16 September 2019

Syukur

   
     
     "Terima kasih, setidaknya dengan begini aku bisa meniada dengan tenang." Gumamku usai melihat sesuatu yang membahagiakan pagi ini. 
     "Haha.. yu freng kaya mau mati saja. Yu jangan berbangga dirilah, karena sejatinya yu belum melakukan apa-apa." Bahlul yang sejak tadi datang tanpa kusadari, langsung mencecarku dengan tawanya yang mengejek dan katanya yang menohok.
     "Dikau terbangun sedih, kemudian cemburu, lalu senang hari ini. Tuhan telah memberimu banyak hal. Sudahkah kau bersyukur kepadaNya? Yang kulihat dimatamu hanya keluh pecundang! Lakukan yang mesti kau lakukan. Lakukanlah yang terbaik. Jangan tanya mengapa!" Panrita pun turut meninjuku dengan tuturnya yang bernas.

Minggu, 15 September 2019

Api

"Dia dengan sombong menjilati malam..//Menghinakan bumi tempatnya berpijak..//Dengan angkuh memamerkan kemuliaannya pada semesta..//Sehingga lupa, ia akan binasa.." 

Panrita tetiba bersyair. Dalam duduk bersila, tunduknya dalam di perut malam. Dalam kebisingan ia mengais sunyi, memanggil tenang bersemayam dalam jiwanya. Tentunya aku dan Bahlul memilih menyingkir, bergabung dengan para penari yang menelan api.

Senin, 09 September 2019

Republika.co.id

Malam ini, disepanjang jalan dari Macanda ke Pattallassang, angin begitu keras menampar pipiku yg mungil, lucu, kusut, dan berantakan. Sedang jemariku yg kanan erat memegang setir motor sembari terus menarik ulur gasnya. Tanpa kusadari Bahlul yg kubonceng sudah pucat kesi, tanganya memeluk erat pinggangku. "Kenapa buru-buru Cong? Entar juga sampai," katanya gemetar. "Dengan menarik ulur gas motor, aku ingat kematian. Aku ingat Tuhan. Dan aku sadar bahwa aku ternyata masih mencintai dunia ini. Lalu aku pun ingat, masih banyak hal yg mesti kulakukan di dunia Lul," kataku, sok. "Hehe.. iye Cong, dan kau juga belum nikah, jomblo pula." Sunyi menyergap. Gas motor full. Yamaha semakin di depan.

Selasa, 03 September 2019

Keluh


Setelah merenung sejenak tentang segala hal belakangan ini, sahaya sampai pada satu titik kesadaran. Di mana tidak lagi bisa maju karena jelas itu kesalahan, dan tidak bisa mundur sebab itu telah berlalu. 

Dalam gundah berselimut gulita, Panrita muncul di balik kegelapan. Songkoknya miring ke kanan, pertanda si bijak yang mengada. "Nak, jelas engkau harus bermuhasabah. Sebab dikau banyak mengeluhkan hal sepele pada orang lain. Itu tanda engkau amat fakir dalam pikir dan ikhtiar. Habib Puang Makka pernah menukas tutur, sering mengeluh adalah tanda kelemahan dan ketidakmampuan, lawannya adlh sering bersyukur. Lawanlan kelemahan itu dengan perbanyak bersyukur," katanya sebelum gelap menelannya.

Senin, 02 September 2019

Acong dan Bahlul


   
   
   Selasa pagi, kopi dan buku-buku yang merajut untuk dijamah. Memang lumayan lama sahaya berpuasa dari membaca buku. Dipuasakan oleh keadaan dan kemalasan yang melilit. Sedang sekarang saja masih berat mengejanya. 
   Tetiba Bahlul datang dan menyambar salah satu buku, duduk dengan santainya di atas sadel motor. Lelaki yang bidakna semrawut dan muka selalu menggelikan ketika dipandang, lekas menyeruput kopiku dalam-dalam sampai menimbulkan bunyi ssssrrrr.. 
   "ckck.. syahdunya.." batinku. 
   "Hehe.. kalau mau membaca, baca saja. IQRO' kata Jibril pada kanjeng Nabi. Jangan di entar-entar Cong, entar kopimu juga kosong macam kepalamu itu kini. Hihi.." katanya sambil cengengesan..